Ketika kita melihat Masjid Jami’ Al
Ula, mungkin kita mengira masjid tersebut adalah masjid baru/modern. Namun
sebenarnya Masjid ini memiliki sejarah panjang. Bahkan boleh dibilang masjid
Jami’ Al Ula adalah masjid pertama yang didirikan di Balikpapan.
Kampung Baru adalah awal pemukiman kota
Balikpapan, semua kapal berlabuh di sana.
Nama “kampung baru” itu diambil dari kata “baru” yaitu bahan untuk
menyatukan kayu kapal supaya tidak bocor (sekarang umumnya menggunakan damar).
Sedangkan nama Masjid dari bahasa Banjar yang sering diucapkan oleh saudagar Banjar yaitu “Ula”yang artinya ‘dimulai’ maksudnya
agar pembangunan mushola segera di mulai. Fersi lain menjelaskan kata “ula”
adalah bahasa Arab yang artinya “pertama”
Kampung baru sejak semula adalah tempat
merapatnya kapal-kapal saudagar yang datang dari Penajam, Sulawesi,
Banjarmasin, dan tempat-tempat lain. Mereka yang umumnya beragama Islam. Namun
saat itu Kampung Baru tidak memiliki tempat untuk sholat, dari hasil
pembicaraan diantara para saudagar terjadi kesepakatan untuk membangun mushola.
Bangunan awal terbuat dari kayu dengan atap ijuk.
Selanjutnya mushola ini berkembang menjadi masjid yang dibangun di atas
tanah hibah dari pedagang Tionghoa yang beragama konghucu. Bangunan terbuat
dari kayu namun atap sudah terbuat dari sirap. Dihalamannya dibuat kolam untuk
wudhu seperti masjid-masjid di jawa dan dibuat sumur-sumur sebagai sumber air. Yang
menjadi imam pertama adalah KH Jamaluddin
DG Malewa (dimakamkan di Penajam), imam kedua Puang Sau (dimakamkan di
Jenebora), dan imam ke tiga Habib Bassiri dari Banjarmasin (dimakamkan di
Penajam).
Keistimewaan masjid antara lain ketika Jepang dan Belanda berusaha
mengebom masjid tersebut, bom tidak jatuh di masjid dan bahkan tidak bisa
meledak. Dalam sejarahnya terjadi beberapa kali kebakaran di kampung sekitar masjid namun masjid tidak ikut terbakar,
padahal masjid masih terbuat dari kayu.
Tahun 1961 dibentuk panitia pembangunan
masjid secara permanen. Kepanitiaan ini memiliki “kontrak mati” dimana terdapat
perjanjian jika masjid gagal dibangun sesuai waktu yang telah ditentukan maka
seluruh panitia di hukum mati (dibunuh). Ancaman ini diberikan oleh Pangdam IX
Mulawarman R. Suharjo yang ternyata anggota PKI. Berkat kerja keras dan kesungguhan panitia dan
warga, masjid dapat didirikan sesuai waktu yang disepakati.
Tahun 1965 pemukiman di sekitar masjid dibakar oleh gerombolan, namun
lagi-lagi masjid tidak ikut terbakar. Bahkan ketika barang-barang penduduk yang
diamankan ke dalam masjid ikut terbakar, masjid nya tidak terbakar.
Sejak tahun 1970 Masjid Jami’ Al Ula
sudah mengalami 3 kali renovasi. Renovasi terakhir selesai dilakukan pad tahun
2004 yang menjadikan masjid ini menjadi masjid permanen berlantai 2 dengan daya
tampung sekitar 5.000 jamaah. Dan saat ini sedang direncanakan pembangunan 4
menara disudut-sudut masjid dan peninggian menara utama.
Selama ini biaya pembangunan selalu
berasal dari sumbangan-sumbangan yang masuk, tanpa melalui penggalangan dana
dengan cara meminta sumbangan di jalan atau mendatangi dari pintu ke pintu.
Seolah-olah para donatur berebut untuk menyumbang. Di bulan romadhon jumlah
ta’jil untuk berbuka para jamaah di masjid selalu datang dari masyarakat, dan
sering kali datang dalam jumlah berlebih.
Pluralisme. Masjid ini sangat mengedapankan kebersamaan dan tidak mempermasalahkan
perbedaan. Pengurus memilih untuk tidak menentukan bahwa masjid menjalankan
mahdad tertentu dan tidak menjadi
anggota organisasi keislaman tertentu. Setiap perbedaan dibicarakan secara
musyawarah untuk mencapai mufakat. Misalkan saat sholat taraweh, masjid ini
melakukan taraweh sebanyak 23 rokaat, setelah rokaat ke 8, jamaah yang
melakukan sholat tawawih sebanyak 11 rokaat keluar dari shof untuk melakukan
witir sendiri, dan imam memberi keleluasaan kepada jamaah untuk mengatur
kembali shof kemudian melanjutkan
sholat.
Peran Masid Jami’ Al Ula bagi
masyarakat sekitar bukan hanya sekedar tempat beribadat, namun juga sebagai
tempat penanggulangan penyakit masyarakat. Pada masanya kampung baru dikenal
sebagai daerah rawan dan tertutup.
Julukan “Texas nya Balikpapan” muncul karena disana terjadi banyak
tindak kejahatan seperti judi, kekerasan hingga pembunuhan. Akibatnya warga
lain tidak berani masuk ke kampung baru jika tidak ada kepentingan. Kemudian
seluruh pengurus masjid jami’ Al Ulu berperan aktif untuk menyadarkan warga dan
mengajak mereka ke masjid. Sekarang lingkungan di sekitar Masjid boleh dibilang
sudah aman dan penduduk lebih terbuka dan ramah terhadap warga lain.
0 komentar :
Post a Comment