PT Kontak Perkasa Futures | PT PLN (Persero) meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merombak formula harga jual batu bara. Perusahaan menilai patokan pembelian emas hitam berdasarkan harga acuan saat ini membuat biaya produksi listrik tinggi.
“Alokasi batu bara domestik semestinya tidak memakai patokan harga batu bara acuan (HBA). Itu cukup memberatkan kami. Pemerintah bisa melakukan perubahan,” ucap Kepala Divisi Batu Bara PLN Harlen kepada Tempo, Selasa, 12 September 2017.
Harlen mengatakan perubahan harga batu bara bisa berlaku untuk kewajiban pasar domestik (domestic market obligation/DMO) yang ditetapkan pemerintah kepada perusahaan pertambangan. Setiap tahun, Kementerian Energi mengalokasikan batu bara untuk diserap di dalam negeri minimal 20 persen dari produksi total.
PLN mengusulkan harga batu bara DMO menggunakan formula biaya produksi ditambah keuntungan yang wajar. Dengan begitu, PLN bisa menakar ongkos yang dikeluarkan untuk membangkitkan listrik.
Skema harga ini sebenarnya sudah berlaku untuk batu bara khusus pembangkit listrik tenaga uap mulut tambang. Konsep itu termuat dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2016 yang disahkan April tahun lalu.
Namun pembahasan regulasi berjalan alot lantaran PLN meminta formula harga yang rendah. Adapun Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) meminta sebaliknya.
Pemerintah akhirnya menuruti permintaan PLN dengan menurunkan komponen biaya pengupasan dan sisa galian tambang (overburden). Ongkos produksi per tonnya juga mengalami perubahan.
BACA JUGA : 4 Alasan Tongtol Bakal Laris Manis di Pasaran
Harlen memprediksi kebutuhan batu bara PLN mencapai 85 juta ton tahun ini. Angka tersebut melebihi alokasi batu bara domestik yang diberikan pemerintah untuk PLTU milik PLN sebanyak 66,8 juta ton. Dengan volume sebesar itu, menurut dia, kenaikan harga batu bara akan sangat mempengaruhi biaya pembangkitan setrum. “Pemerintah bisa meniru kebijakan DMO minyak dan gas bumi yang memberikan diskon untuk penyerapan dalam negeri,” ujarnya.
Bulan ini, Kementerian Energi mematok harga batu bara acuan US$ 92,03 per ton. Angka itu tergolong tinggi dibanding harga patokan pada Januari lalu sebesar US$ 86,23 per ton. Kenaikan harga terjadi karena produksi batu bara Australia terganggu oleh bencana topan Debbie.
Penguatan harga terjadi sejak akhir tahun lalu ketika pemerintah Cina menutup seribu tambang bermasalah dan mengurangi jam kerja dari 330 hari per tahun menjadi 276 hari per tahun. Cina dan Australia adalah penambang batu bara terbesar di dunia.
ROBBY IRFANY ( tempo.com)