KONTAK PERKASA FUTURES – Hingga kini, otoritas dan pelaku pasar modal masih terus membahas rancangan aturan tentang mekanisme electronic bokbuilding dalam penawaran umum perdana saham. Benarkah aturan tersebut kian memanjakan investor, tetapi menjadi beban penjamin emisi?
Adapun, rencananya, ketentuan mengenai e-bookbuilding akan diterapkan pada tahun depan. Dengan demikian, aturan pendukung sudah harus tersedia dalam waktu dekat.
Sistem ni diyakini akan menjadi pendorong investor ritel untuk memiliki porsi saham lebih besar dalam penawaran umum. Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan ketentuan porsi minimal investor ritel yang disesuaikan dengan nilai emisi IPO.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, poin terbaru yang dimuat dalam draf tersebut adalah mengenai pemesanan saham perdana oleh investor ritel pada penjatahan pasti alias fix allotment tanpa menyerahkan uang jaminan.
"Misalnya Investor pesan sekian harganya, sesuai dengan harga penawaran saham IPO. Penjamin emisi harus mencantumkan pemesan tersebut," kata Presiden Direktur PT Indo Premier Sekuritas, Moloenoto kepada Bisnis, baru-baru ini.
Menurutnya, sudah tentu beleid ini akan sangat menguntungkan investor ritel. Tanpa perlu merogoh kocek dalam-dalam atau hanya dengan cuap-cuap, investor sudah menjadi pemesan resmi dalam pasar perdana saham tersebut.
Padahal, di sisi lain, beban akan dipikul oleh sekuritas selaku penjamin emisi alias underwriter. Jika ada potensi gagal bayar atau si pemesan tersebut tidak menuntaskan transaksi, ini akan menjadi tanggung jawab penjamin emisi.
Dengan kata lain, penjamin emisi juga harus bertanggungjawab terhadap penyerapan saham yang telah dipesan itu. Opsinya, bisa dijual kembali ke investor lain atau diserap secara langsung sesuai tugas dan fungsinya. "Catatannya investor tadi itu akan masuk ke daftar hitam ketika penawaran berikutnya," ujar Moleonoto.
Direktur PT Danareksa Sekuritas Boumediene Sihombing menilai, ketentuan tersebut akan meningkatkan risiko dari penjamin emisi. Terlebih, jika penawaran umum perdana saham dilakukan oleh lebih dari satu penjamin emisi.
Dia mencontohkan, IPO ditangani oleh tiga penjamin emisi. Sedangkan investor yang masuk bukan merupakan nasabah salah satu penjamin emisi. Maka akan ada pertanyaan dari penjamin emisi mengenai kelayakan dan kemampuan dari investor tersebut.
"Karena ini dibuka secara online jadi semua investor dapat melakukan penawaran, meskipun bukan berasal dari nasabah penjamin emisi. Memang ada kelebihan dan kekurangannya," jelasnya.
Jika ketentuan ini direalisasikan, penjamin emisi akan menanggung beban ganda. Pertama adalah beban dari adanya gagal bayar. Kedua, beban jika porsi penjatahan oleh ritel yang tidak terserap sepenuhnya.
Dalam draf rumusan mengenai e-book building itu, investor yang berpartisipasi dalam bookbuilding akan diberikan porsi penjatahan lebih. Dalam rumusannya, porsi yang ditawarkan oleh OJK adalah 2:1.
Sementara itu, penjatahan terlebih dahulu untuk pesanan paling banyak 10 lot. Persentase penjatahan paling tinggi adalah 12,5% untuk nilai penawaran umum kurang dari sama dengan Rp250 miliar. Adapun besaran minimal adalah 2,5% untuk nilai penawaran lebih dari Rp2,5 triliun.
Sementara itu OJK melalui Deputi Komisioner Pengawasa Pasar Modal II OJK Fakhri Hilmi belum bisa memberikan keterangan mengenai ketentuan baru itu. Begitu juga Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui Direktur Penilaian Perusahaan IGD Nyoman.
Secara normatif, perkembangan mengenai e-book building ini disampaikan oleh Direktur Utama BEI Inarno Djajadi. Dia mengatakan bahwa ketentuan ini segera direalisasikan dan tengah dalam tahap pematangan bersama OJK.
"Kami perlu membangun layanan yang efisien dari sisi aktivitas pencatatan perusahaan, misalnya bersama-sama dengan OJK kami berupaya membangun sistem e-bookbuilding," kata dia.
Sistem penawaran umum secara elektronik ini memang ditujukan untuk meningkatkan porsi investor ritel pada pasar perdana. Namun, jangan sampai semangat itu merugikan salah satu pihak.
BACA JUGA : Saham Energi Bebani Dow Jones dan S&P 500