PT Kontak Perkasa Futures Bank Indonesia (BI) menilai melemahnya kurs rupiah sejak beberapa hari lalu disebabkan oleh reaksi pasar menyusul rencana pemerintah Amerika Serikat menurunkan pajak dan pernyataan Gubernur Bank Sentral Amerika yang cenderung hawkish tentang membaiknya perekonomian di Amerika.
"Penyebabnya lebih karena menguatnya dolar Amerika yang antara lain disebabkan oleh pernyataan Yellen yang cenderung hawkish dan rencana reformasi pajak Amerika," kata Asisten Gubernur BI Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter, Dody Budi Waluyo.
Menurut dia, sentimen dari Amerika itu tidak hanya melemahkan rupiah, tapi juga sebagian besar mata uang negara-negara di kawasan Asia. Kurs rupiah yang menurun 0,45 persen masih lebih baik dibandingkan dengan yen Jepang yang melemah 0,60 persen.
Analis Monex Investindo Futures, Agus Chandra, mengatakan rencana pemangkasan pajak oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump diyakini pasar dapat memicu pertumbuhan dan tingkat investasi di Amerika.
Selain itu, menurut Agus, nada hawkish dari Gubernur The Fed Janet Yellen untuk menaikkan suku bunganya pada akhir tahun ini turut menjadi sentimen positif bagi dolar Amerika di pasar valas.
"Dolar Amerika menguat dipicu pernyataan Janet Yellen yang membuka peluang kenaikan suku bunganya," kata Agus.
Hawkish adalah komentar atau pernyataan yang tegas atau agresif terhadap perkiraan positif pertumbuhan ekonomi (pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran, daya beli konsumen, produksi manufaktur, dan lain-lain) serta inflasi yang sering kali berdampak atau terkait dengan tingkat suku bunga.
Pada pembukaan pasar Kamis pagi ini, 28 September 2017, nilai tukar rupiah bergerak melemah menjadi Rp 13.547 per dolar Amerika.
Kurs jual berada di level Rp 13.531 per dolar Amerika, sedangkan kurs beli berada di level Rp 13.397 per dolar Amerika. Selisih antara kurs jual dan kurs beli adalah Rp 134.
Di pasar spot, Kamis siang ini, nilai tukar rupiah berada di level Rp 13.549 per dolar Amerika.